“Upssss !!!......
“ spontan aku berucap saat mendengar anak bungsuku, Bening sibuk mencari baju
seragam putih merahnya.
“Ibu seragam
putih merahku dimana ya ? Besok harus dipakai saat upacara penerimaan siswa
baru,” katanya seraya mencari-cari di lemari bajunya.
“Aduh Adik,
maaf ya baju seragammu sudah dibawa ke Nganjuk,” kataku. Aku menyebut sebuah
desa di kota kecil di Jawa Timur ini. Di sebuah desa itu, ada beberapa keluarga
yang selalu siap menerima uluranku. Dalam bentuk apapun.
Suamiku
marah, mendengar hal ini. Kok bisa secepat itu berpindah tangan. Sementara
perpisahan kelas 6 SD, barusan selesai beberapa hari lalu.
Begitu tahu Bening sudah diterima di sekolah yang baru, sebagai murid baru sebuah
SMP Negeri, kupikir seragam sekolahnya tak lagi baju atasan putih dan bawahan
merah. Karena sudah SMP, seragamnya ganti putih biru. Maka ketika berkesempatan
menyortir baju, seragam itu juga ikut kusingkirkan dari lemarinya.
“Terus bagaimana ini Bu ?” tanya
Bening. “Ayoooo ikut ibu ke toko,” ajakku. Sebagai bentuk pertanggungjawabanku,
malam itu juga aku membelikan seragam baru putih merah.
*****
Apa yang terjadi malam itu, sebenarnya bukan pertama kali. Hal yang sama pernah
kulakukan beberapa kali waktu silam. Kali itu yang jadi "korbannya"
adalah baju dan celana panjang suamiku.
Saat itu kupikir baju-baju kausnya sudah harus disortir karena warnanya
yang sudah mbulak (pudar). Bentuknya
tak lagi bagus. Demikian juga celananya. Dan tampaknya lama tak pernah dipakai.
Makanya kupilih dan kuberikan ke orang yang membutuhkan.
Ternyata setelah baju2 itu berpindah tangan, suamiku malah ingin
memakainya.. ia tak menghendaki baju-baju itu berpindah tangan. Walah.....
Katanya, masih bisa dipakai untuk baju tidur, bisa digunakan ketika bersih-bersih
rumah atau mencuci mobil. Untuk lap juga bisa.
Aku tetap tak mau disalahkan. Kubilang, “Kalau memberi itu kan harus yang
baik. Bukan yang jelek-jelek kemudian diberikan.”
Korban lainnya adalah baju anak sulungku.
“Ibu ini terlalu rajin, jaketku kan masih bagus bu,” katanya setengah
“memprotes” kebiasaanku. Jaket garis-garis yang kusortir itu adalah jaket
kesayangannya. “Kan warnanya sudah pudar Mas. Lagi pula di ujung lengannya ada
yang sobek,” kataku.
Tapi anakku tetap saja tak terima. Aku cuma tersenyum kecut. “Aku masih
pingin pakai bu. Kalau buat naik motor kan gak masalah,” ujar Banyu, sulungku.
****
Jam menunjukkan pukul 23.00. Mata belum juga mengantuk. Tapi sedang enggan
membaca majalah atau buku. Akhirnya tanganku segera menjelajah ke lemari
pakaian. Dengan cepat aku merapikan baju-baju suamiku. Kemudian baju2ku
sendiri. Saat merapikan ini sekaligus aku menyortir baju2 yang sudah tak muat
lagi, baju yang lama tak dipakai, atau baju yang sudah jelek. Bahkan ada juga
baju baru, yang karena berbagai alasan belum pernah dipakai sama sekali.
Itu yang selalu kulakukan setiap kali mata tak juga terpejam.
Aku mengakui kalau kelewat rajin menyortir baju. Prinsipku, ketika aku
mampu membeli satu baju baru, maka aku juga harus mengeluarkan satu baju lama. Ini
yang membuat lemariku tak pernah penuh berjejal.
Rasanya aku bahagia sekali kalau bisa “membagi” baju-baju untuk keluarga
yang membutuhkan.
Terkadang saat tidak beli baju baru pun, keinginan untuk menyortir begitu
menggebu. Hahahah...kalau sudah membuka lemari baju malam-malam, wajah suamiku langsung
berubah kuatir, “jangan-jangan jaket-jaket naik gunungku bakal dihabisi”....
Memang ada setumpuk jaket gunung dan beberapa menggantung di lemarinya. Dan
tanganku sudah pingin banget menyingkirkannya hahahha......
Karena ? “Karena dia sudah lama banget tak mendaki...” *